Debat Pro Kontra AGC (Auto Generated Content)

Artikel ini terinspirasi dari sebuah Posting Grup Facebook Sekte Karungan yang di buat oleh Mas Dian Umbara. Dia adalah pendiri Grup tersebut sekaligus sebagai pengurusnya.

Post yang dibuat oleh Mas Dian ini memuat isu pro dan kontra AGC (Auto Generated Content), sebuah teknik yang bertujuan untuk membuat konten blog secara otomatis. Tidak hanya itu saja, Mas Dian juga membuat voting yang ditujukan kepada anggota grup.

Untuk lebih jelasnya, begini isi dari post yang dibuat oleh Dian Umbara (gambar ini saya SS langsung dari Blog)

Debat Pro Kontra AGC (Auto Generated Content)
Saat artikel ini saya tulis, post yang membuat voting ini mendapatkan tanggapan:

  • AGC HARAM: 900 akun
  • AGC HALAL: 128 akun
Dan juga banyak mendapatkan like dan komentar yang menyatakan netral, setuju dan tidak setuju. Jika melihat data voting, jelas banyak yang tidak menyetujui teknik AGC.
Namun sebelum kita membahas lebih jauh lagi, mari kita telaah apa itu AGC.

Pengertian AGC

AGC kependekan dari auto generated content jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti konten yang dibuat otomatis, jadi bisa dikatakan bahwa AGC merupakan teknik membuat konten secara otomatis. 
Pada teknisnya, AGC ini mengambil konten dari web/blog lain untuk diisikan ke dalam web/blog si pemakai teknik AGC. So, sumber konten bisa didapatkan dari mana saja. 
Pada prinsipnya, AGC ini tidak bisa dihukumi benar atau salah karena AGC adalah bagian dari ilmu, dan ilmu bersifat netral. Nah yang bisa dihukumi benar dan salah itu adalah pemakai teknik AGC.
Kenapa bisa begitu? Ya karena jika dilihat dari pengertian dan fungsi, AGC bisa difungsikan sesuai keinginan dari si pemakai itu sendiri. 

Penggunaan AGC

Nah jika menyimak dari pos yang dibuat oleh Mas Dian Umbara tersebut,  saya berpendapat tidak pas jika AGC dibilang benar dan tidak benar alias salah. Kembali kepada penggunanya, untuk apa teknik tersebut dipakai dan bagaimana ia menerapkannya.

Oknum pengguna AGC yang tidak benar adalah saat ia memakainya untuk mendapatkan keuntungan dari konten orang lain (mangambil konten), namun di lain sisi merugikan orang lain. 

Misalnya seperti ini, saya membuat artikel dengan cara menulis sendiri, jadi konten yang saya buat sepenuhnya orisinal. Di sisi lain, saya juga membuat aturan yang saya letakkan di disclaimer dan di bawah artikel, yang menyatakan dilarang melakukan kopi paste tanpa izin. 
Lantas, ada blogger lain yang menerapkan AGC di blognya dan mengambil seluruh isi dalam blog saya lalu menaruh di blog yang ia miliki secara otomatis, dia mengambil tanpa izin dari saya, parahnya ia juga tidak menampilkan sumber dari mana artikel itu di dapatkan.
Nah, lantas yang dihukumi salah dalam kasus ini adalah si pemilik blog yang menerapkan AGC untuk mengambil keuntungan secara membabi buta. Tidak mengindahkan aturan yang sudah saya buat. Saya bisa menyebut orang tersebut sebagai pencuri konten. Apapun dalihnya.

Oknum pengguna AGC yang benar adalah saat ia memakainya untuk mendapatkan keuntungan dari konten orang lain (mangambil konten), namun di lain sisi juga menguntungkan orang lain. Jadi sama-sama untung.

Memang ada yang seperti itu? Ya ada dong, Misalnya Amazon, Dia memiliki sistem affiliate dan menyediakan API supaya bisa digunakan oleh penggunanya, bertujuan agar pengguna bisa menampilkan isi kontent Amazon ke web/blog pengguna, sama persis tanpa perlu repot. Ini sifatnya tidak saling merugikan dan malah menguntungkan.

Seedbacklink affiliate

Ada lagi contohnya, oknum pengguna AGC yang mengambil konten dari web/blog orang lain namun sudah mendapatkan izin dari pemilik konten, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bisa dipahami dengan langsung meminta izin ke pemilik konten, sedang secara tidak langsung bisa dipahami bahwa si pemilik konten menyediakan API, izin tertulis yang dibuat atau si pemilik konten tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Jadi, Geis, Menyoal debat perkara AGC halal atau haram, sebaiknya tidak perlu diperluas lagi deh. Kembali kepada diri masing-masing, itu semua tergantung kepada oknumnya. Jangan hanya karena sebuah ilmu dinilai banyak membawa kerugian, lantas menghukumi ilmu tersebut dengan label haram. Karena sekali lagi ilmu bersifat netral.

Seedbacklink affiliate
Share your love

Update Artikel

Masukkan alamat email Anda di bawah ini untuk berlangganan artikel saya.

Tinggalkan Balasan