Mastrigus.com – Dulu saya pernah sekolah, setidaknya saya pernah merasakan bagaimana rasanya memakai seragam putih abu-abu, meski tidak seperti yang di ucapkan oleh orang-orang, bahwa masa paling indah adalah saat memakai seragam putih abu-abu. Rasa itu tidak ada lam hati.
Saya menuntut ilmu di MAM Watulimo, secara umum sekolah ini dulu tidak terlalu banyak dikenal orang, karena letaknya di dalam gang, berbaur dengan sekolah-sekolah lain seperti MTs, MI dan TK. Bagi para calon siswa yang memiliki pandangan gahul, MAM Watulimo bukanlah sekolah yang menjadi priortitas, karena jujur saja, madrasah ini memang tidak gahul, terkesan kolot dan tidak banyak fasilitasnya.
Waktu itu, menyebut MAM Watulimo sebagai tempat menuntut ilmu bukanlah kebanggaan, alasannya seperti yang telah saya jelaskan di atas. Bahkan murid yang daftar ke sini, kalau bukan murid yang benar-benar tekun, atau murid yang kurang mampu, atau murid yang tidak diterima di sekolah lain. Segala ironi yang menyangkut kebanggaan sekolah, tumplek blek di MAM Watulimo. Setidaknya itu padangan saya dulu hingga saat ini. Dan saya termasuk dalam murid dari keluarga tidak mampu.
Yups, MAM Watulimo memang bukan madrasah untuk gahul-gahulan dengan memamerkan tingkat prestisius sekolah serta menguarkan cap favoritnya. Bukan, sekolah ini tidak memiliki hal seperti itu, sekolah ini hanya punya ketulusan sebagai madrasah yang punya misi dan tanggung jawab untuk mencerdaskan mayarakat. Mampukah ketulusan itu dijadikan kebanggaan? Saya rasa tidak bisa, karena jikapun bisa pasti akan membutuhkan waktu lama untuk menjelaskannya ketimbang mengatakan “Saya belajar di sekolah favorit se Kecamatan Watulimo” atau “Saya sekolah di kota”. Sekali lagi, MAM Watulimo tidak punya hal seperti itu, ia hanya punya ketulusan.
Waktu itu, teman seangkatanku berjumlah tidak lebih dari jumlah jari kaki dan jari tangan, cukup di masukkan dalam satu kelas saja, jadi tidak ada sebutan kelas 1 A, 1 B, 1 C. Adanya hanya kelas 1 saja. Memiliki teman sejumlah itu dalam satu kelas tentu akan hafal segala tingkah polah mereka, bagaimana keusilan mereka, bagaimana kecurangan mereka terhadap guru dan bagaimana cara tertawa bersama. Kami saling mengenal satu sama lain sampai sekarang. Kerekatan itu terjalin selama 3 tahun waktu masih sekolah.
Namun siapa sangka, bahwa apa yang kuangap sebagai suatu kelemahan pada sekolah tersebut justru membawa saya pada jalan ninja yang benar (ups), murid Aliyah boleh sedikit, bangunan sekolahnya boleh berantakan, fasilitasnya boleh hampir tiada (waktu dulu) tapi Aliyah punya keistimewaan tersendiri yang mungkin tidak di miliki oleh sekolah-sekolah lain. Aliyah punya ketulusan (itu yang saya rasakan), dan rasa ini tidak bisa dibuktikan begitu saja tanpa engkau masuk ke dalamnya. Bagi sekolah lain mungkin juga akan mengatakan bahwa mereka punya ketulusan, tapi ayolah, kamu akan kesulitan menjelaskan ketulusan tersebut pada orang lain. Tapi saya benar-benar bisa merasakan di Aliyah.
Guru saya orang-orang ndeso, sesekali ada guru dari kota yang ingin nyekuan untuk mayokne ijazah sarjananya, tapi biasanya tidak berlangsung lama setelah ia punya pandangan sekolah lain yang lebih menguntungkan (zaman sekarang ngomong mengajar untuk pengabdian itu sama halnya dengan mengatakan bahwa bau kentut itu wangi, menurutku). Dan dengan kondisi seperti itu saya yakin bahwa, guru-guru yang bertahan di Aliyah adalah guru-guru yang tulus, yang mengerti bahwa ilmunya harus berguna bagi siswanya, bahwa ilmunya tidak untuk dijual melainkan untuk diwariskan kepada murid-muridnya. Itu yang saya tahu.
Guru saya ndeso, memiliki banyak pengetahuan ndeso, apakah kamu tahu bahwa orang yang pandai ngemong (momong) itu adalah orang-orang desa (ndeso). Orang-orang di desa punya anak lebih banyak dari pada orang-orang di kota, dan orang desa mampu menghidupi seluruh anaknya. Nggak percaya? Coba tanyakan, siapa yang lebih banyak membutuhkan babu untuk momong anaknya, orang desa ata orang kota? Guru-guruku adalah orang desa, mereka punya ketulusan untuk mendidik anak-anak orang yang telah dititipkan kepadanya.
MAM Watulimo memiliki fasilitas minim, dulu tidak ada laboratorium bahasa, atau laboratorium komputer. Ada satu komputer untuk administrasi sekolah, dan dari sanalah saya bisa belajar komputer. 1 komputer di MAM Watulimo mampu membuatku mahir komputer, otodidak tanpa guru IT handal. Yah, bagaimana aliyah bisa melengkapi fasilitas sekolah hingga standar nasional, lawong SPP nya saja waktu itu paling murah se Kabupaten Trenggalek. Tapi meskipun murah, saya tidak selalu bisa bayar SPP tiap bulan. Kadang nunggak 6 bulan, dan saya tetap dibiarkan sekolah di sana. Menuntut ilmu bersama kawan-kawan lain. Tanpa ditagih setiap hari. Ya, mereka punya ketulusan.
MAM Watulimo punya lapangan untuk segala jenis aktivitas olahraga, semisal sepakbola, takrow, kasti dan juga untuk main becek-becekan. Saat istirahat, dan cuaca sedang hujan. Kami tidak bisa menahan diri segera mengambil bola untuk bermain sepakbola. Kami tidak memikirkan dampak apa yang akan kami dapat jika harus bermain sepakbola waktu hujan. Yang pasti kami bisa bahagia bersama. Meski seragam yang semula putih, berubah warna sepekat lumpur. Kami hanya perlu mencucinya dan pergi ke kelas dalam keadaan basah kuyup. Guru-guru kami hanya geleng kepala, atau memarahi kami (mungkin takut kami sakit), dan kami hanya menampakkan wajah yang meminta belas kasih.
Di Aliyah, saya tidak mengenal diskriminasi, atau malu karena keadaan yang saya punya. Kami saling mengolok tapi juga saling mendukung. Murid sedikit justru membuat kami lebih dekat, dekat dengan teman seperguruan dan dekat dengan guru-guru kami. Itulah Aliyah, yang mungkin berbeda jika saya sekolah di kota.
Kini Aliyah masih seperti yang dulu, namun ada beberapa peningkatan yang harus saya apresiasi. Muridnya masih sedikit, tapi tiadk bisa diremehkan begitu saja, karena murid-murid aliyah sangat produktif dalam berkarya, tengok saja situs Aliyahmu.com, situs yang dikelola oleh murid-murid aliyah, penuh dengan karya tulis. Sekolahnya sepi dalam jumlah, tapi ramai dalam karya, Apakah kamu bisa melihat itu disekolah lain?
Saya diajari kemandirian, diajari bagaimana memanfaatkan keterbatasan menjadi hal berguna. Dan fakta lagi-lagi menyatakan bahwa itu sangat efektif diterapkan pada anak didik yang seharusnya tidak boleh manja dalam hal apapun. Keterbatasan selalu memunculkan hal kreatif, itu yang saya tangkap.
Untuk mengadakan kegiatan OSIS (sekarang berubah menjadi IPM), kami tidak memiliki uang, meminta kepada sekolah pasti tidak diberi, karena sekolah tidak punya uang untuk kegiatan osis. Kami (kebetulan saya ketua osis) harus mencari uang dengan cara-cara kreatif, semisal membuat kalender untuk dijual kepada kami sendiri, atau membuat kostim dan menjualnya kepada kami sendiri. Kami berupaya untuk mencari uang untuk bisa mengadakan kegiatan OSIS. Dan apakah itu berlaku bagi sekolah-sekolah favorit yang tinggal mengajukan prorposal ke sekolah.
Masa-masa abu-abu kami bukan masa yang membahagiakan, tapi masa-masa yang penuh proses pendewasaan, kami tidak ditempa menjadi lulusan yang manja dengan segala fasilitas, kami dididik menjadi remaja yang siap untuk melewati kerasnya kehidupan. Sekolah kami kecil, guru kami ndeso, tapi kami memiliki ketulusan. Saya termasuk siswa paling goblok, dan saya bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang, itu karena didikan guru-guru ndeso kami. kalau yang goblok saja sudah seperti ini, bagaimana dengan yang selalu juara satu (sombong dikit boleh kan). Pokonya, Kami bangga menjadi bagian dari MA Muhammadiyah Watulimo.