Kalau toh dahulu Emak tidak merestui saya merokok, tentu saat ini saya menjadi perokok pendosa. Karena melakukan perbuatan terang-terangan di hadapannya, yang pasti akan melukai hati dan perasaannya. Namun Emakku bukan manusia primitif yang selalu menyalahkan keberadaan penyakit karena konsumsi rokok, ia memberikan restu kepada anak lanang semata wayangnya ini dengan satu petuah “Iyo ngrokoko, neng kudu pinter golek duet” dan merokoklah saya atas izin orang tua tersebut.
Izin itu diberikan selepas saya lulus Aliyah, ketika ada sebungkus rokok LA di meja ruang tamu. Saya menunjukkan kepada Emak dan menanyakan rokok siapakah ini, lantas emakku menyatakan kalau rokok tersebut adalah milik tamu yang sengaja ditinggalkan. Sayapun meminta izin kepada beliau dengan tatapan penuh harap “Mak tak rokoke yo?” dan ia mengangguk sambil mengucapkan petuah sakti di paragraf pertama, di atas.
Saya merokok semenjak SD, tentu dengan teknik gerilya. Misalnya ketika di depan pawonan (dapur tradisional warga desa) dan mendapati api sedang menyala, saya ambil batang kecil kayu cengkih yang belum terbakar dan menghisap-hisapnya untuk mencari tahu mana batang berlubang. Setelah ketemu batang tersebut, ujungnya dinyalakan lalu dihisap asapnya. Maka keajaiban fisika pun terjadi, batang tersebut mengeluarkan asap selayaknya asap rokok. Tentu ini saya lakukan setelah memastikan tidak ada orang di sekitar rumah.
Tradisi Merokok
Anak-anak seusia saya jaman SD sering melakukan hal demikian, kendati banyak pula dari mereka yang ketika dewasa, memilih menjadi pembenci rokok dan mengatakan hal senewen tentang rokok “rokok itu haram” “rokok itu penyakit” “rokok itu pemborosan” dan hujatan lainnya yang intinya mereka menjadi pemaki dan pembenci rokok.
Bagi saya bukan perkataannya yang menohok tentang rokok, tapi pemikiran joroknya terhadap sesuatu yang mereka sendiri tidak memikirkannya. Mereka tahu rokok itu penyakit dari orang-orang, bukan atas hasil risetnya sendiri.
Pengalaman merokok yang saya dapatkan, telah saya pilah menjadi dua kategori. Pertama kategori jahiliyah dan yang kedua kategori berkepribadian. Emak menghendaki anaknya untuk menjadi perokok yang memiliki kepribadian, sedangkan sebelum mendapatkan restu merokok, saya kerap menjalani kehidupan sebagai perokok jahiliyah.
Jahiliyah artinya bodoh, perbuatannya seperti yang telah saya ceritakan di atas, merokok dengan batang cengkih, gulungan kertas hingga kadang batang tanaman gadung. Batang gadung yang sudah kering memiliki rongga di tengahnya.
Sambil mencari rumput pakan kambing, jika sudah selesai, saya dan kawan-kawan menggunakan batang gadung sebagai media santai. Tentu saja sambil berpikir, “kita ini meski masih kecil namun sudah melakukan pekerjaan orang dewasa, kita mencari rumput, mencari kayu kering dan melakukan hal-hal lain, dan kita tidak mengeluh karena keadaan demikian“. Merokok pada waktu itu hanya berwujud kesenangan dan keakraban, bukan kenakalan.
Masa MI dan MTs sebenarnya tidak penuh dengan aktivitas merokok. Intensitasnya tidak kerap, hanya sebulan sekali atau emapt kali dalam setahun. Itu saya anggap sebagai pembelajaran semata. Ketika dewasa (saat ini), saya bersyukur telah melakukan hal-hal demikian, karena ternyata dengan begitu, saya memiliki ingatan-ingatan yang terekam pada kejadian “jahiliyah” tersebut. Andai kata kehidupan waktu kecil lurus-lurus saja, mungkin saya tidak memiliki banyak kenangan indah.
Barulah ketika Aliyah, merokok menjadi trend bagi kelompok kami, kendati masih memakai teknik gerilya. Saya tidak menganggap bahwa merokok adalah kenakalan, melainkan salah satu cara pencarian jati diri. Kalau toh merokok itu membuat nakal, pasti orang-orang seperti Cak Nun, Pak Malik Fajar, Bu Susi dan orang-orang gede lainnya adalah orang-orang nakal. Toh kalau nakalnya bisa menjadi orang hebat, kenapa tidak merokok saja.
Merokok itu jalan sehat, bukan jalan sesat. Camkan itu…
Bukankah kejadian seperti ini mirip sekali dengan makan sayur terong, saya tidak suka dengan terong, tapi istri saya suka. Namun karena tidak ada kepentingan besar, maka terong tidak menjadi kontroversi. Like dan Dislikenya hanya sekedar persoalan pribadi, bukan persoalan nasional. Dan yang lebih penting terong hampir tidak memiliki ekonomis, lain dengan rokok. Namun terong bagi saya adalah penyebab penyakit, karena saya tidak menyukainya.