NAPAK TILAS IDENTITAS: Diskusi Renyah Sejarah Kabupaten Trenggalek

Mengapa kita disebut sebagai orang Trenggalek? Karena kita terlahir dan atau berdomisili di Kabupaten Trenggalek adalah jawaban yang paling mudah diberikan untuk pertanyaan di atas. Namun, identitas ke-Nggalek-an yang kita sandang tidaklah muncul tiba-tiba dari ruang hampa. Ada proses yang berjalin dan berkelindan, ada apa-mengapa-dan bagaimana yang melatari munculnya Trenggalek sebagai sebuah identitas sebuah wilayah, yang pada akhirnya Trenggalek juga menjadi identitas bagi manusia yang ada di wilayah tersebut. Menelusuri rekam jejak masa silam guna mengkaji proses-proses yang terjalin ini penting dilakukan agar manusia memahami identitasnya.

Berangkat dari kesadaran akan pentingnya pengetahuan serta pemahaman akan sejarah asal-usul Trenggalek inilah yang menginspirasi komunitas-komunitas yang ada di Kabupaten Trenggalek untuk membuat sebuah diskusi santai perihal sejarah tanah kelahiran mereka. Diskusi yang diawali dari dunia maya (FB) ini kemudian direalisasikan dalam sebuah pertemuan kopi darat, bertatap muka dan bersilaturahmi fikri sembari ngopi. Diskusi pada tanggal 21 oktober di kantor PAMA kemarin mendatangkan narasumber Kyai Hamid Wilis, sejarawan Trenggalek yang juga mantan anggota dewan. Serta Misbahus Surur, akademisi dari UIN Malang yang saat ini sedang melakukan finishing bukunya tentang sejarah Trenggalek.
Kyai Hamid Wilis membuka diskusi dengan sebuah fakta menarik: TRENGGALIH. Sebuah kata yang pernah diajukan Bupati Soetran untuk mengganti kata Trenggalek. Alasannya adalah karena kata Trenggalek mempunyai konotasi yang cenderung negatif. Wong nggalek elek panganane gaplek mungkin menjadi pantun guyonan yang sering mampir di telinga kita. Bupati Soetran percaya bahwa persoalan nama mempunyai dampak yang signifikan dalam mempengaruhi psikis manusia. Maka dari itu pengubahan nama menjadi Trenggalih dapat mengubah stigma warga agar mulai keluar dari keterbelakangan dan meninggalkan mental marjinal.
Akan tetapi niatan ini tidaklah berjalan mudah. Pengubahan nama mempunyai konsekuensi turut berubahnya segala macam terkait aturan administrasi dan membutuhkan biaya yang besar. Akhirnya, mayoritas pejabat membuat keputusan untuk menolak secara halus permintaan Soetran tersebut dengan membuat sebuah tim penelusuran “hari jadi” kabupaten Trenggalek serta menelusuri asal muasal nama “Trenggalek”.
Tim yang awalnya terbentuk tahun 1971 itu bergerak meneliti situs-situs bersejarah yang ada di wilayah Trenggalek. Selain itu, penelusuran juga dilanjutkan ke museum-museum dan perpustakaan-perpustakaan dari berbagai wilayah Indonesia untuk melacak hari jadi dan asal usul kata Trenggalek. Pada 1980 turut pula tim akademisi dari UM bergabung dalam penelitian tersebut.
Pak Hamid Menjelaskan, bahwa hasil dari penelitian itu cukup menarik sekaligus membingungkan: tidak ada satupun prasasti yang mencantumkan kata Trenggalek. Kata Trenggalek hanya muncul dalam legenda-legenda dan dongeng-dongeng. Misalnya, dalam babad Ponorogo disebutkan bahwa Bathara Katong merasa wilayahnya terlalu luas sehingga perlu membaginya menjadi beberapa wilayah otonom: salah satunya adalah Trenggalek yang diserahkan kepada seorang adipati.
Jika tidak ada satupun prasasti yang menyebut nama Trenggalek, lalu dari mana kata itu muncul sehingga bisa digunakan dalam kisah-kisah legenda? Penjelasan yang saat ini dipakai oleh Kyai Hamid adalah bahwa kata Trenggalek terbentuk secara alamiah lewat bahasa yang diucapkan manusia. Dalam bahasa sansekerta, kata Treng berarti tempat, sementara kata galek berarti jauh. Trenggalek= tempat yang jauh. Maksudnya, Trenggalek sebagai wilayah pegunungan yang terpencil, jauh dari pusat pemerintahan. Itulah mengapa pada zaman dahulu, orang yang ingin pergi ke “wilayah ini” mengucapakan trenggalek (panggon adoh), tempat yang jauh. Kata yang berulang kali diucapkan untuk menunjuk wilayah ini pada akhirnya menjadi sebuah “kesepakatan” tidak resmi bahwa itu adalah nama wilayah ini.
Sementara makna “Terang ing Penggalih” yang selama ini dianggap sebagai makna kata Trenggalek adalah kinara basa, sastra jawa yang digunakan untuk menjabarkan sebuah kata menjadi kalimat bermakna yang mempunyai nilai filosofis. Bukan makna asli dari asal muasal kata Trenggalek itu sendiri.
Selanjutnya, Misbahus Surur menambahkan bahwa secara otonomi, pernah ada beberapa perdikan/sima (sebelum kemerdekaan) yang teridentifikasi pernah eksis di wilayah Trenggalek ini. Yang pertama perdikan Kampak sekitar tahun 929 M. Tokoh yang berperan dalam masa ini adalah Pu Sindok. Pu Sindok yang berencana membangun sebuah kerajaan di daerah Jawa Timur membangun kekuatan di wilayah Kampak yang saat itu merupakan kademangan. Kemudian dia akhirnya berhasil membangun kerajaan di sekitar Jombang dengan ibukotanya yang terkenal itu: Tawmalang-Kahuripan. Setelah berhasil, lalu dia membuat sebuah prasasti dan menganugerahkan tanah pada penduduk sebagai sebuah Sima/Perdikan.
Selanjutnya adalah Perdikan di Desa Baruharjo. Tercatat dalam Prasasti Baru, bahwa Raja Airlangga menghadiahkan wilayah itu sebagai wilayah Perdikan karena masyarakat membantu raja saat memerangi Raja Hasin.
Ada juga Perdikan Kamulan, Perdikan Bendungan, yang menandakan bahwa hampir seluruh wilayah Trenggalek saat ini adalah wilayah Perdikan. Yang berarti, wilayah yang merdeka, bebas dari pajak dan diberikan otonomi untuk mengatur wilayahnya.
Demikianlah, diskusi pada malam hari itu dirasa sangat kurang. Terlampau banyak hal yang masih tersembunyi di balik kata “Trenggalek”. Namun sedikit fakta tentang kota Trenggalek tersebut diharapkan dapat dijadikan referensi untuk Trenggalek ke depan yang lebih baik. Bukankah semakin banyak kita mengetahui masa lalu, semakin siap kita menghadapi masa depan?
Share your love

Update Artikel

Masukkan alamat email Anda di bawah ini untuk berlangganan artikel saya.

Tinggalkan Balasan