Sepuluh Cangkir Kopi Hitam Untuk Trenggalek

“Apakah Trenggalek memiliki media online yang ideal?” Pertanyaan ini muncul sejak saya intensif mempelajari web-blog, kira-kira tahun 2010 yang lalu. Dan sampai saat ini saya belum mendapatkan jawaban.

Tadi malam sengaja saya, kawan-kawan blogger dan penulis Trenggalek punya inisiatif berkumpul bersama sambil ngopi bareng. Tujuan kami adalah sharing masalah blog. Tidak ada tujuan khusus dari pertemuan yang kami gagas ini. Hanya ingin saling mengenal satu sama lain, menceritakan pengalaman Ngeblog juga tukar gagasan sekitar dunia nge-blog.

Awalnya saya merasa canggung, sebagai tuan rumah yang mengundang tamu, tentu risih ketika tujuan mengundang mereka tidak jelas. Lawong ngundang orang kok cuma untuk ngopi dan ngobrol, kan saru! selayaknya mengundang kan harus jelas untuk apa mereka diundang, misalnya undangan untuk yasinan, walimatul aqiqah, atau undangan untuk menghadiri pesta pernikahan.

Berawal dari status Facebook beberapa hari kemarin, kira-kira saya menulis begini “umpama saya mengadakan acara temu Blogger Trenggalek, ada yang mau tidak”? Status yang awalnya tidak terlalu serius itu merupakan keinginan saya untuk mengetahui respon, apakah blogger-blogger Trenggalek ada yang mau berkumpul dan ngopi bareng. Status tersebut ditanggapi oleh mereka, tanggapan yang menunjukkan semangat kebersamaan tentunya.

Malam itu, tepatnya tanggal 12 Maret 2016, sekitar pukul 20.00 WIB di Kantor LPPM PAMA Trenggalek, dengan berbagai proses, kami benar-benar berkumpul, meskipun di antara kawan yang ngebet ada yang tidak hadir. Bermula dari kehadiran 8 orang, kemudian pada pukul 23.00 bertambah menjadi 9 orang. Jumlah yang tidak sesuai dengan kopi pesanan yang berjumlah 10 cangkir.

Asyiknya, ketika 9 orang berkumpul dengan latar belakang masing-masing, obrolan menjadi lebih hidup. Saya masih ingat ketika salah satu peserta bernama Cak Eko menceritakan pengalamannya menjadi blogger, dimulai tahun 1996 hingga sekarang, menulis secara ajek mengenai apa yang dia rasakan, menjadikan blog sebagai tempat berekspresi dan mencurahkan hatinya yang sering galau.

Dari beliaulah, saya tau bahwa di-era 90-an ternyata blog sudah familier bagi para pengguna internet di Trenggalek, meski yang dipakai bukan platform semacam blogspot maupun wordpress. Menurut cerita Cak Edy Penggunaan blog era tersebut bukan menitik beratkan pada cara penggunaan adsense (pengiklan), namun lebih pada kesenangan untuk terhubung dengan komunitas blogger. Saling terhubung dan bisa berkomunikasi dengan blogger lain merupakan capaian dalam membentuk komunitas. Tentu dengan berbagai karakteristik blog masing masing.

Tidak seperti media sosial zaman sekarang yang notabene daftar dan langsung bisa terhubung dan menggunakan, supaya bisa dinikmati, sebuah blog harus di optimasi sesuai dengan kesukaan masing-masing, mulai dari pemilihan template, jenis tulisan yang disuguhkan, guest link yang ditanam, semuanya mengarah pada kreatifitas yang dimiliki. jadi tidak heran jika di jaman dulu blog mempunyai ciri khas sesuai karakter yang dibangun si pemilik.

Jadi menurut saya memang ada perubahan paradigma yang mempengaruhi cara berkomunikasi seseorang dengan menggunakan fasilitas internet. Seperti kata Cak Edy, setidaknya, sejelek-jeleknya tulisan yang diposting di dalam blog, masih ada ide dan pikiran yang dituangkan, jadi tidak sekadar menyebarkan.

Keunikan dari blog zaman dulu adalah, meskipun hubungan komunikasi dalam komunitas blog terbangun dengan baik, namun terkadang tidak saling kenal di kehidupan nyata, walau sebenarnya mereka berada dalam satu daerah yang sama. Cak edy menceritakan dengan gamblang, ada seorang blogger yang mengaku dan mem-branding dirinya sebagai “Cah Ndeso Gaul”, postingan-postinganya pun juga banyak memuat unsur “muda” yang gaul dengan gaya tulisan yang sama. Dalam prespektif Cak Edy, “Cah Ndeso Gaul” adalah seoarang pemuda yang berasal dari desa namun selalu update mengenai informasi (baca: tidak gaptek), berpenampilan energik dan aktif berkomunkasi. Karena Cak Edy penasaran dengan orang ini, dia berniat untuk menemuinya.

Tidak ada identitas khusus yang dia ketahui mengenai Cah Ndeso, melainkan hanya petunjuk sederhana, bahkan alamat tempat tinggalnya juga dikaburkan (seperti main detektif saja), proses pencarian pun berhasil, namun tidak seperti yang dipikirkan Cak Edy, si Cah Ndeso bukanlah seseorang seperti yang dia bayangkan. Cah Ndeso ternyata orang tua yang saat itu menjabat sebagai pejabat di Kabupaten Trenggalek (mudah-mudahan dia membaca cerita ini).

Cerita singkat di atas memberikan petunjuk bagi kami bahwa, ada admosfer kental yang tercipta pada komunitas blogger di Trenggalek zaman dulu, nilai kebersamaan sebagai orang yang sama-sama terhubung dengan internet dan menggunakan blog sebagai media komunikasi. Saling terhubung dan bersaing untuk menghasilkan karya tulisan terbaik, berbagi pengalaman antara blogger satu dengan blogger lain. Di zaman itu yang notabene belum terjadi krisis moneter, mereka tidak terlalu berpikir bagaimana cara mendapatkan uang dari internet, akan tetapi mereka lebih menonjolkan sifat, bagaimana mereka dapat terhubung satu sama lain, dengan menunjukkan karakteristik masing-masing.

Zaman memang sudah sangat berubah ya? hentakan-hentakan kapitalis yang kian hari kian menguat tentu sangat mengusyik pendirian kami yang (katakanlah) ingin survive dengan sebuah karya namun tidak terbebani dengan ajakan-ajakan dari para blogger masa sekarang untuk menghasilkan uang dari internet. Meskipun ada godaan-godaan untuk menjadi seorang blogger yang lebih mengutamakan keyword dan SEO ketimbang konten asli dengan data otentik, namun dengan berkumpul dan memahami sejarah blog di kota sendiri bisa dijadikan rujukan bahwa ngeblog bukan hanya sekedar unutk uang, akan tetapi lebih pada penunjukan eksistensi.

Malam semakin larut, pun energi dari masing masing peserta semakin membesar, percakapan ngalor-ngidul selama beberapa jam ini secara tidak langsung memberikan sinyal kepada kami, bahwa, ada cita-cita terpendam yang sejatinya ingin di ungkapkan, bekerjasama dalam sebuah wadah dengan menggunakan keahlian masing-masing untuk membuat sesuatu. Sesuatu itu tidak bisa saya sebutkan disini, yang jelas kami sebagai orang-orang yang pernah menjadi blogger (sampai sekarang) menginginkan untuk mengamalkan pengalaman kami supaya dapat bermafaat bagi orang lain.

Ketika blogger (idealis) kawakan, pengembang website, budayawan, jurnalis, dan pengusaha berkumpul menjadi satu dan mempunyai cita-cita yang sama, tentu tidak menjadi sulit apabila ingin berkarya “menumbuhkan potensi” Trenggalek, meskipun latar belakang kami berbeda, namun sejatinya kami mempunyai cita-cita sama

Semoga kesepakatan kami bisa terwujud. Dan yang tak kalah penting, masih ada secangkir kopi yang lebih, tentu kami sediakan untuk satu orang yang sangat ingin mengabdi di Trenggalek dengan keahlian yang dia miliki. Hem 10 cangkir kopi hitam untuk Trenggalek, saya rasa bukan sesuatu yang lebay. Inilah kami dengan cara pandang kami untuk Kabupaten Trenggalek, doakan kami selalu bisa berkarya. Amin.

Share your love

Update Artikel

Masukkan alamat email Anda di bawah ini untuk berlangganan artikel saya.