Film Dirty Vote dirilis di tengah-tengah hari tenang pemilu 2024, pemilihan waktu rilisnya baik sekali, yakni di saat orang-orang menyiapkan dirinya memilih calon presiden dan di saat para politisi tidak riuh “pamer” foto di baliho, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Dirty Vote merupakan dokumenter, kalau ditonton secara keseluruhan, alur film memang seperti presentasi materi kuliah pada umumnya, namun berkat sentuhan jenius Bung Dandhy Laksono dan crew membuat “presentasi biasa” tersebut tampak menjadi tidak biasa, bahkan saya sebut di luar ekspektasi.
Ada tiga ahli hukum tata negara yang membintangi film ini. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Ketiganya mengungkapkan upaya-upaya kekuasaan dalam menggunakan instrumen negara untuk tujuan memenangkan pemilu, bahkan menurut mereka telah merusak tatanan demokrasi.
Dirty Vote memang mengagumkan jika dilihat dari jumlah penontonnya, dalam seminggu tercatat ada 20 juta pengguna Youtube yang telah menonton film tersebut.
Film ini meskipun banyak yang mengapresiasi (termasuk saya sendiri) namun banyak juga yang mengkritiknya. Salah satu pengritik yang saya kenal –tapi dia tidak kenal saya– adalah Iqbal Aji Daryono, seorang penulis, pengajar dan netizen aktif. Begini bunyi kritiknya:
Film Dirty Vote itu wajib ditonton. Masalahnya, adegan pembukaannya langsung Uceng dan Feri presentasi pake layar besar, ada grafiknya pula.
Iqbal Aji Darmono
Ibarat tulisan esai, paragraf pertamanya bukan story tapi malah kutipan undang-undang atau teori akademisi.
Ditambah lagi durasinya yang dua jam, film itu hanya akan disimak para kelas menengah sekolahan–itu pun dari segmen yang paling rajin sekolah. Bakul gorengan dan buruh angkut di agen gas melon gak akan kuat nonton itu.
Timses 01 dan 03 harus motong-motong adegan-adegannya lalu menyebarkannya selama minggu tenang, agar efek yang diharapkan dapat tercapai.
Demikian saran dari konsultan politik nirlaba awur-awuran, semata agar pertandingan ala MMA ini semakin menggairahkan.
Postingan Iqbal di Facebook menuai ragam Komentar, termasuk dari salah satu Crew pembuat Dirty Vote, yakni Farid Gaban — saya kenal dan sudah bertemu dengannya– Farid tidak menepis kritik dari Iqbal dan justru menyebutnya kritik yang valid, namun di sisi lain ia juga memberi saran kepada Iqbal untuk membuat film serupa. Yang dalam hal ini akan saya anggap sebagai “kemustahilan bagi Iqbal”.
Kritik kang Iqbal Aji Daryono tentang Dirty Vote ini valid. Itu sebabnya kami, Ekspedisi Indonesia Baru, sebagai salah satu kolaborator dalam film ini, mendukung kang Iqbal bikin film sejenis yang:
- populer
- dalam waktu 2 pekan
- aktor/narasumber tidak dibayar
- sutradara, kameramen, periset, editor, dan desainer grafis bekerja pro bono
Dan bisa hits 15 juta penonton hanya dalam 2 hari.
Farid Gaban
Keseruan Dirty Vote sesungguhnya dirasakan oleh puluhan juta kalangan karena sejatinya telah menjadi perbincangan publik, baik masyarakat biasa seperti saya, politisi dan juga pengamat politik. Media massa mainstream juga tak luput mengulasnya serta mencarikan perspektif lain dari para komentator.
Nah, menurut saya justru di situlah keberhasilannya, Dirty Vote telah menciptakan dialektika dalam kelas-kelas masyarakat. Bahkan menjadi ‘gangguan’ bagi para pendukung, timses serta calon-calon presiden itu sendiri.
Tapi tulisan ini bukan untuk membahas hal tersebut melainkan hendak mengulas perihal 3 pakar tata negara yang dikomentari miring oleh orang-orang yang bahkan bukan pakar. Kondisi ini relevan dengan pikiran Tom Nichols dalam bukunya berjudul The Death of Expertise, matinya kepakaran.
Percayakah Anda Kepada Pakar?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah mengartikan kata pakar sebagai ahli atau spesialis. Yakni orang yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu.
Dalam film Dirty Vote, para bintang filmnya merupakan pakar hukum tata negara yang apabila diartikan merupakan tiga orang yang memiliki keahlian dalam ilmu hukum tata negara. Mereka ibarat dokter spesialis penyakit tertentu.
Untuk bisa mencapai posisi tersebut tidak ada cara lain selain menempuh pendidikan formal untuk mempelajari Hukum Tata Negara seperti struktur negara, lembaga negara serta dinamika kewenangan yang ada dalam struktur pemerintahan negara.
Lazimnya, sebagai masyarakat yang tidak atau belum pernah mendalami bidang-bidang hukum tata negara, seharusnya yakin dengan apa yang telah mereka jelaskan. Sebagaimana penjelasan dokter jantung terhadap orang yang memiliki penyakit jantung. Yang perlu diperhatikan adalah siapa yang memiliki pemahaman baik tentang ilmu tersebut. Saya meyakini apa yang telah mereka jelaskan sebagai sebuah kebenaran selama belum ada yang mengimbangi gagasan-gagasan dalam film tersebut.
Jika kita tidak memiliki ilmu yang seimbang dengan para pakar hukum tata negara tersebut, lantas memilih untuk tidak mempertimbangkan pikiran-pikiran yang telah disuarakan, merupakan kesombongan bagi seorang yang tidak tahu. Maka di sini Tom Nichols benar soal bukunya matinya kepakaran, dimana orang-orang tidak lagi mempercayai pendapat para ahli dan lebih memilih pendapat dari sesama netizen atau dari politisi.