Tuhan, Aku Rindu Kemah Bersama Sahabat

Ya Alloh, rasanya pikiran ini sudah penat sekali. Setiap hari berjibaku dengan garapan-garapan logic, membuat otak kehilangan haknya untuk santai.

Bukan tidak ingin kemah, tapi ada yang berbeda di kehidupan dewasa ini, lambat laun dengan terus bertambahnya usia, memaksa orang untuk mengemban tanggung jawab yang semakin berat. Aku atau sahabatku sedang menghadapi siklus ini.

Tagihan sekolah, biaya makan yang terus bertambah karena harga beras naik, tagihan angsuran kredit dan tanggung jawab pekerjaan yang harus diselesaikan.

Kondisi yang semakin lama semakin menumpuk, seakan hampir tiada waktu lagi untuk sekedar pergi ke hutan mendirikan tenda dan menikmati secangkir kopi bersama sahabat.

Saya memang tidak sendirian merasakan kehidupan menjemukan tersebut. Sahabatku juga sama. Bahkan semakin parah.

img 20230604 0858218502761887176482798
Kemah di Kedung Gede Bendungan

Misalnya, sudah berulang kali saya mengajak Roin Jozuna untuk menikmati musim hujan di tenda, tapi selalu saja ia menolak. Saya tahu kalau ia sibuk mengemban tanggung jawab. Atau barangkali ia memang sudah menua lalu bosan dengan hal-hal remeh seperti kemah.

Tapi dahulu saya menyaksikan sendiri raut wajah kebahagiaan para sahabat saat kemah. Bergotong royong mencari kayu bakar, membuat kopi, atau sibuk menghalau air hujan yang hendak masuk tenda. Mereka sumringah, seakan kemelut beban hidupnya pergi.

Kemah di hutan memang tidak menghasilkan uang, tapi setidaknya membantu orang untuk merefleksi kehidupan yang telah berlalu. Tiupan angin hutan, suara daun-daun yang saling bergesekan, teriakan manja jangkrik, atau burung hantu yang mengintip dari balik pohon waru, sejatinya adalah energi alam yang bisa diserap.

Ketika cahaya mentari pagi menerobos gerombolan mendung di ufuk timur, secercah semangat sudah pasti menghampiri diri. Lantas semangat itu memacu orang untuk berbuat sesuatu lagi. Sesuatu yang hendak ingin digapai.

Aku ingin kemah, tapi tidak punya sahabat seperti dulu lagi. Apa mungkin siklus kehidupan itu seperti ini. Melupakan hak pikiran untuk istirahat dan lebih mementingkan kebutuhan keluarga. Tapi keluarga bukan beban. Mereka adalah diri kita yang lain, yang seharusnya saling membantu sama lain.

Share your love

Update Artikel

Masukkan alamat email Anda di bawah ini untuk berlangganan artikel saya.