Seminggu terakhir ini saya berusaha untuk menulis panjang, paling tidak harus di atas 1000 kata. Tidak lain, pemaksaan diri ini bertujuan untuk menjaga keahlian menulis dan tentu saja untuk menjaga supaya tetap waras.
Saya mengelola banyak web, jadi bebas mau ngepos artikek dimana saja, tinggal menyesuaikan gaya artikel saja.
Misalnya kalau tulisan untuk sekedar refleksi dan mengomentari isu terkini, saya post di situs nggalek.co.
Situs tersebut dibuat untuk komunitas, terutama orang-orang Trenggalek. Disebut sebagai panggung terakhir idealisme. Nggalek.co menjadi pemenang Anugerah Jurnalistik AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Tahun 2021 kategori jurnalisme warga.
Kemarin saya menulis opini, mengomentari isu hari jadi Trenggalek. Kamu bisa baca di sini: Berebut Pengaruh di Alun-Alun Trenggalek
Artikel tersebut membahas tentang perebutan pengaruh di Alun-Alun Trenggalek antara pedagang kaki lima (PKL) dan Event Organizer (EO) terkait rencana penyelenggaraan pasar rakyat. Pemerintah daerah berupaya menengahi konflik tersebut namun gagal. Perselisihan ini menyebabkan pembatalan acara pasar rakyat Hari Jadi Trenggalek ke-830.
Tulisan panjang kedua saya post di kabartrenggalek.com, media massa lokal yang bisa dikatakan paling banyak pembacanya di Trenggalek.
Saya sudah menganalisa para pesaingnya, dan memang trafiknya paling besar di antara lainnya.
Tulisan bergaya feature dengan judul: Sang Perintis Pantai Mutiara itu Bernama Kacuk Wibisono. Berkisah perjalanan seorang local champion yang berhasil mengembangkan desa kelahirannya menjadi destinasi wisata populer di Trenggalek.
Kedua artikel tersebut memang tidak butuh lama untuk ditulis, rata-rata 1-2 jam jadi. Yang lumayan memakan waktu adalah terjun ke lapangan untuk wawancara dan menggali informasi.
Sehabis menulis demikian, hati rasanya senang, otak jadi lebih plong. Mungkin benar apa kata orang, menulis itu untuk menjaga kewarasan.
Meski hal tersebut sudah tersadari sejak saya bisa menulis.






